Bandung, Zonabandung.com,- Bupati Bogor nonaktif Ade Yasin dituntut hukuman selama 3 tahun penjara.Denda Rp.100 juta jika tidak dibayar diganti kurungan selama 6 bulan.
Selain itu Ade Yasin juga dikenakan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik untuk memilih dan dipilih sebagai pejabat publik selama 5 tahun setelah menjalani hukuman.
Tuntutan itu dibacakan penuntut umum KPK dalam persidangan yang dipimpin majelis hakim diketuai Hera Kartiningsih di Pengadilan Tipikor Bandung pada Senin 12 September 2022.
Baca Juga: Kepengurusan Kodrat Kota Bandung Resmi Dilantik

Dalam pertimbangan tuntutan Penuntut umum KPK menyebutkan bahwa terdakwa Ade Yasin telah terbukti bersala menurut hukum Sebagaimana dakwaan alternatif pertama pasal.5 ayat 1 a UU TIikor Jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Pada sidang ini terdakwa Ade Yasin masih mengikuti sidang secara online dari Lapas Perempuan Bandung.
Adapun hal yang memberatka terdakwa Ade Yasin dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum' ujar Penuntut Umum KPK.
Terhadap tuntutan tersebut terdakwa Ade Yasin akan mengajukan pembelaan baik secara pribadi maupun melalui penasihat hukumnya,Dinalara Butar Butar.
'Kami akan mengajukan pembelaan Tadi sepintas kita dengarkan bahwa fakta-fakta yang diungkapkan oleh jaksa itu.Satu mengungkap bahwa peristiwa OTT yang digongkan KPK ternyata faktanya tidak ada hari ini.
Karena terlihat dalam tuntutannya kan tidak ada berbicara mengenai OTT dan itu terbantahkan hari ini. Karena kalau ada OTT dalam tuntutannya ada dong peristiwa tersebut.'Kata Dinalara.
'Kedua kita dengarkan fakta-fakta tadi terlalu terlihat diduga jaksa memaksakan keterangan para saksi khususnya terhadap peristiwa arahan yang dimaksudkan oleh JPU karena jelas tidak ada fakta yang menjelaskan soal arahan-arahan itu kapan dilakukan? Hanya ada alibi bahwa arahan itu mereka bertemu dengan Ade Yasin itu adalah pada saat memperkenalkan feri, artinya belum masuk pada masa pemeriksaan BPK itu haknya JPU untuk menarik-narik itu menjadi suatu peristiwa walaupun tidak terang benderang kapan itu sebenarnya.'Ujar Dinalara.
Lebih lanjut dikatakan Dinalara,menurut hukum pidana kan harus terang benderang terhadap kapan peristiwa itu dilakukan. Kalau kita lihat juga buku panduan KPK di dalam menuntut itu harus dijelaskan diuraikan secara rinci daripada pasal yang didakwakan, tapi kami lihat tuntutan jaksa itu semuanya ngambang sampai dia lari pada LKPD tahun 2020, peristiwa tahun 2019 padahal di awal kalimat dia mengatakan bahwa peristiwa itu adalah Oktober 2021 sampai April 2022.
Tetapi dalam penguraian fakta dia menjelaskan bahwa kejadian di tahun 2019, 2020 dan LKPD tahun 2022. Ini menarik, kalau peristiwa ini ditarik oleh jaksa dalam suatu tuntutannya batalkan dulu WTP tahun 2021 kalau begitu. Ini kita duga tuntutan gado-gado, gak jelas, peristiwa yang mana, kapan? Tempatnya dimana? Perbuatan siapa?. Jelas Dinalara.